Salah satu kesalahan yang lazim ditemukan pada saat audit, baik itu untuk ISO 9001:2015, ISO 14001:2015 ataupun ISO 45001:2018 adalah ketidakpahaman auditee terhadap pengertian Corrective Action. Berikut merupakan contoh untuk membedakan antara Root Cause, Correction, Corective Action, dan Risk-based Thinking/Preventive Action dalam versi sebelumnya.

Contoh 1 
Pada saat memverifikasi hasil Internal Audit, telah ditemukan minor NC di departemen HRD karena belum dibuat rencana training untuk tahun berjalan. Kemudian Internal Auditor menerbitkan Corrective Action Report, yang biasanya terdiri dari Nonconformity, Root Cause, Correction, Corrective Action dan Risk Control. Di situ tertulis :
Root Cause: belum membuat Rencana Training
Correction: Membuat Rencana Training untuk tahun berjalan
Corrective Action:  Membuat Rencana Training untuk tahun berjalan
Risk Control:  Memastikan Rencana Training untuk tahun berikutnya dibuat

Contoh 2 
Departemen Maintenance sudah menetapkan target untuk Machine Down Time per bulannya adalah 20 jam. Namun hasil bulan November menunjukkan Machine Down Time melebihi 20 jam. Dan sesuai peraturan yang sudah ditetapkan oleh Management Representative, bila ada Quality Objectives yang tidak tercapai maka harus dibuat analisa dan tindakan pencegahan yang dituangkan dalam format Corretive Action Report (nama format mungkin berbeda di tiap perusahaan). Manager Maintenance lalu mengisi form CAR tersebut seperti berikut ;
Root Cause: kabel mesin injection nomor 4A putus sehingga menyebabkan Down Time melebihi 20 jam
Correction: sementara tidak memakai mesin nomor 4A, digantikan dengan mesin lain
Corrective Action: menyambung kabel yang putus dengan menggunakan selotape
Risk Control: memastikan mesin 4A berfungsi baik sebelum digunakan

Kedua contoh di atas ditemukan hampir di setiap klien yang diaudit, mungkin lebih dari 80%. Biasanya sistem ISO di suatu perusahaan dibuat oleh konsultan, jadi seperti 2 contoh kasus di atas, mereka sudah melakukan seperti yang disyaratkan oleh ISO 9001:2015. Mereka sudah melakukan Internal Audit, membuat Quality Objectives dan Corrective Action Report. Namun, kurangnya pemahaman akan definisi dari beberapa requirement ISO yang menyebabkan kualitas dari aplikasi ISO pun tidak sesuai harapan.

Dalam bahasa Indonesia, Corrective Action adalah tindakan untuk menghilangkan penyebab dari suatu masalah. Dan Corrective Action ini harus bisa mencegah recurrence  atau kejadian yang sama terulang kembali.

Kembali pada pembahasan Corrective Action, jadi untuk bisa membuat Corrective Action yang bagus maka kita harus menemukan Root Cause yang sebenarnya. Tidak mungkin kita bisa menghilangkan penyebab dari suatu masalah kalau kita belum menemukan apa masalahnya. Untuk menemukan Root Cause ini bisa menggunakan beberapa tools seperti fishbone chart, 5 Why, etc. Sedangkan Correction definisinya adalah action untuk menghilangkan masalah, hanya menghilangkan masalah untuk sementara waktu dan memungkinkan masalah yang sama terjadi kembali.

Sekarang coba kita terapkan pemahaman yang benar ini pada 2 contoh kasus di atas :

Contoh 1
pada saat internal audit ditemukan bahwa departemen HRD belum membuat Rencana Training sesuai requirement dari Internal Prosedur.
Root Cause: adanya pergantian personel pada HRD, dan personel baru belum mengerti tugas pembuatan Rencana Training karena belum diinformasikan / training
Correction: membuat Rencana Training untuk tahun berjalan secepatnya, target sampai akhir bulan; correction hanya menghilangkan masalah, dalam hal ini Rencana Training yang belum dibuat harus dibuat secepatnya.
Corrective Action: karena akar permasalahannya adalah personel HRD yang belum mengerti kewajibannya, maka untuk menghilangkan akar masalah ini kita perlu memberikan training kepada related persons terkait kewajiban yang harus dijalankan berdasarkan Internal Prosedur yang ada maupun klausul ISO terkait.
Risk Control: bagaimana kita dapat mencegah adanya non-conformity terjadi karena adanya pergantian personel ? Mungkin kali ini NC terjadi di HRD section karena adanya pergantian personel, bisa saja berikutnya terjadi NC di departemen lain karena adanya pergantian personel. Maka salah satu preventive action yang bisa diterima adalah dengan menerapkan prosedur pergantian personel, dimana jika ada pergantian personel maka atasan wajib memberikan training terkait Internal Prosedur yang mesti dijalankan.

Contoh 2
Departemen Maintenance sudah menetapkan target untuk Machine Down Time per bulannya adalah 20 jam. Namun hasil bulan November menunjukkan Machine Down Time melebihi 20 jam. Dan sesuai peraturan yang sudah ditetapkan oleh Management Representative, bila ada Quality Objectives yang tidak tercapai maka harus dibuat analisa dan tindakan pencegahan yang dituangkan dalam format Corretive Action Report (nama format mungkin berbeda di tiap perusahaan). Manager Maintenance lalu mengisi form CAR tersebut seperti berikut ;
Root Cause: Down Time terbesar datang dari mesin 4A (18 jam) karena ada kabel yang putus digigit oleh tikus --> root causenya adalah kabel yang putus digigit tikus.
Correction: menyambung kabel yang putus dengan tape untuk temporary atau mengganti dengan kabel yang baru (lebih baik). Perhatikan, mengganti dengan kabel yang baru juga hanya sebatas level correction, karena tidak menghilankan root cause (kabel digigit tikus)
Corrective Action: karena root cause nya adalah kabel di mesin 4A digigit tikus, maka Corrective Action yang tepat adalah memasang perangkap tikus di sekitar mesin 4A. Corrective Action ini bertujuan agar mesin 4A tidak lagi digigit oleh tikus.
Risk Control: walaupun sudah dilakukan corrective action terhadap mesin 4A, besar kemungkinan mesin-mesin yang lain bisa juga kabelnya digigit tikus. Maka preventive action yang tepat adalah melakukan pembasmian hama tikus dari pabrik atau melakukan 5S di seluruh pabrik dari sarang tikus. Preventive action ini bertujuan agar masalah yang terjadi di mesin 4A tidak akan terjadi di mesin yang lain.

Demikian contoh sederhana dari penerapan Corrective Action dan Risk-based Thinking untuk ISO 9001:2015. Dengan menerapkan Corrective Action dan Risk-based Thinking yang tepat, maka suatu organisasi dapat melakukan Continuous Improvement dengan baik. Sehingga penggunaan ISO 9001 bukan hanya sebatas "menjual" sertifikat, tetapi benar-benar sebagai alat untuk membuat Sistem Manajemen yang lebih baik dan menguntungkan.

Penulis
Irwansyah Harahap

Irwansyah Harahap telah berpengalaman lebih dari 10 tahun di bidang sistem manajemen baik sebagai konsultan maupun instruktur. Ketika awal bergabung dengan DQS Indonesia, Irwansyah ditunjuk sebagai Sales & Marketing Manager. Kini Irwansyah sebagai Management Representative dan Certification Manager DQS Indonesia untuk sertifikasi Sistem Manajemen Mutu (QMS), Lingkungan (EMS), K3 (OHS), dan IATF.